AGAMA: MENJADI ILMU ATAU MENJADI AMAL?

Oleh:

Faisal Zaini Dahlan

Enam Cara Beragama

Dale Cannon dalam bukunya Six Ways of Being Religious (1996) memetakan enam cara beragama. Masing-masing adalah, (1) way of right action atau cara perbuatan benar, (2) way of devotion atau cara ketaatan, (3) way of mystical quest atau cara pencarian mistik, (4) way of reasoned inquiry atau cara penelitian akal, (5) way of sacred rite atau cara  ritus suci, dan (6) way of shamanic meditation atau cara mediasi samanik. Menurutnya, penganut agama akan menempuh salah satu cara tersebut untuk mewujudkan hubungannya dengan “Realitas Mutlak”. Meski semua cara itu bisa dilakukan secara simultan, tetapi akan ada stressing pada satu cara yang menurut pemeluknya menjadi “substansi” agama.

Karenanya, ada pemeluk agama yang lebih mementingkan perilaku benar dalam kehidupan sehari-hari. Ia berupaya optimal untuk jujur, santun, amanah, menepati janji, membantu dan tidak menyakiti orang lain, dan seterusnya. Sebab, menurutnya itulah aspek terpenting beragama, meski –misalnya- ia tidak maksimal dalam ritual ibadah mahdhah. Namun ada pula yang berupaya maksimal dalam ritual. Bagi yang muslim, ia tidak saja menunaikan sholat wajib, tetapi juga tidak mau meninggalkan sholat sunat. Tahajud dan dhuha tak pernah lalai. Begitu pula puasa Senin-Kamis dan tadarus al-Qur’an. Bahkan berulang kali haji dan umrah. Tetapi, ia terbiasa pula berdusta, menipu, mengingkari janji, bahkan korupsi, menjadi saksi palsu, dan seterusnya. Baginya berperilaku benar ada pada posisi yang lebih rendah dalam beragama. Memperbanyak ibadahlah yang lebih utama.

Ada pula umat beragama yang menghabiskan waktu dan tenaga berkutat pada penelitian ilmiah. Ia mencapai gelar akademik tertinggi bidang tertentu ilmu agama. Sehari-hari ia sibuk dengan aktivitas akademik keilmuan. Mengajar, seminar, meneliti, menulis artikel jurnal, dst. Meski di sisi lain, ia longgar terhadap ritual dan perilaku benar. Sholatnya “pas-pasan”, puasa sunnat jarang dilakukan. Bahkan, dalam aktivitas keilmuan pun ia melakukan perilaku yang tidak benar, plagiasi misalnya. Artinya, menurut dia pencapaian level tinggi dalam penelitian ilmiah sangat urgen, dan bahkan untuk itu absah saja melanggar prinsip berperilaku benar

Tidak jarang pula ada pemahaman bahwa indikasi beragama yang “hebat” mewujud dalam bentuk kemampuan mistik. Misalnya bisa berinteraksi dengan alam gaib atau bisa melakukan hal-hal di luar nalar dan kemampuan manusia biasa. Karenanya, meski penelitian atau keilmuan agamanya tidak mumpuni, begitu pula dari sisi ibadah secara lahir terlihat minimal, tetapi bisa saja seseorang dipandang sebagai waliyullah karena diyakini memiliki karomah atau kesaktian.

Begitulah faktanya, jika parameter keberagamaan diukur dari kacamata yang berbeda. Menurut Cannon, ruang lingkup agama terlalu luas  untuk bisa dijangkau utuh oleh pemeluknya. Ia memberi analogi ibarat seekor gajah “dipahami” secara berbeda oleh enam pawang yang buta. Masing-masing hanya bisa “meraba” secara parsial, dan dengan “perabaan” yang terbatas itulah masing-masing mencoba memahami gajah secara total. Dalam konteks ini, berarti semua cara beragama hanyalah satu aspek dari idealitas beragama secara utuh. Artinya, tidak bisa dinilai aspek mana yang lebih baik dan menjadi indikator utama, karena masing-masing dari keenamnya hanyalah bagian dari keseluruhan.  

Beragama; Berilmu atau Beramal?

Lantas, bagaimana idealitas seorang penganut agama dalam beragama? Jika mengikuti peta cara beragama Cannon, maka mestinya keenam ekspresi beragama itu secara simultan ada dalam diri seorang yang mengaku beragama. Barangkali istilah al-Qur’an bahwa ber-Islam haruslah dengan kaffah, cukup relevan dalam konteks ini, yakni secara total melaksanakan aspek-aspek keberagamaan.

Jika demikian, maka tidak dapat diterima argumen seorang pemeluk agama yang mengidentifikasi dirinya hanya sebagai seorang peneliti atau pengkaji ilmiah keagamaan saja misalnya, tanpa peduli dengan ketaatan terhadap aturan agama. Begitu pula memproklamirkan dirinya hanya sebagai praktisi sufi semata misalnya, tanpa mau peduli dengan keilmuan agama, maupun ritual-ritual wajib dan sunat yang diperintahkan agama.

Mengapa demikian? Secara singkat bisa dijelaskan bahwa keenam cara beragama rumusan Cannon itu pada prinsipnya bersifat komplementer atau saling melengkapi. Temuan-temuan dari reasoned inquiry tak akan bermanfaat jika tidak ditujukan untuk meningkatkan right action maupun devotion. Begitu pula kualitas sacred rite memerlukan mystical quest dan meditation, meski dalam konsep dan model yang berbeda-beda.

Bila diklasifikasikan secara sederhana, dari enam cara beragama itu ternyata hanya satu cara yang lebih berkonotasi “ilmu” atau “teori”, yakni way of reasoned inquiry. Sementara lima lainnya lebih menunjukkan “amal” atau perbuatan kongkrit. Artinya, menurut versi kerangka Cannon ini maka “agama” atau tepatnya “beragama” lebih merupakan “amal” dibanding “ilmu” semata. Dengan kata lain, seorang yang beragama bukanlah seorang “teoretisi” ilmu agama, tetapi adalah seorang “praktisi” ajaran agama.

Perpsektif di atas akan lebih menarik jika ditarik ke dunia pendidikan khususnya pendidikan keagamaan. Pertanyaan mendasarnya adalah, insan-insan beragama seperti apakah yang ingin dikonstruk oleh lembaga pendidikan agama? Barangkali tidak perlu dianalisis panjang lebar dan beradu argumen untuk menjawabnya. Jika saja pada peserta didik  misalnya diajarkan keutamaan sholat di awal waktu, atau berkali lipatnya pahala sholat berjamaah, tetapi kemudian proses belajar mengajar berlanjut terus ketika dan setelah azan berkumandang, maka fakta itu barangkali sudah menjadi indikator kuat bahwa lembaga pendidikan tersebut hanya ingin mencetak “manusia-manusia yang mengetahui ilmu agama”, bukan “insan-insan yang mengamalkan ajaran agama”. Mudah-mudahan faktanya tidak demikian. Wallahu a’lam.