Memahami Makna Lailatul Qadr Secara Rasional: Suatu Pendekatan Alqur’an dan Hadis

Oleh : Muslim, S.Ag., M.Ag.

Tanpa maksud memitoskan, lailatul-qadr merupakan satu-satunya malam yang paling tinggi nilainya di antara malam-malam lainnya. Malam tersebut mengandung banyak keistimewaan, antara lain lebih mulia dari 1000 bulan, titik awal turunnya wahyu Ilahi yang dikenal dengan sumber cahaya kebenaran, dan penuntun ke jalan yang lurus. Dengan kemuliaan lailatul-qadr,  Rasulullah SAW menyerukan agar manusia menjaga dan memperhatikannya dengan mengoptimalkan diri beribadah, memperbayak zikir, doa, dan bacaan Alquran. Khususnya malam-malam terakhir bulan Ramadhan. Namun yang menjadi masalah di sini ialah: (1) bilakah turunnya lailatul-qadr  itu? (2) apakah peristiwa itu terjadi hanya sekali, atau datang setiap tahun dalam bulan Ramadhan? (3) Bagaimana sikap umat Islam menghadapinya? dan (4) apa relevansinya dengan kondisi masyarakat dewasa ini?

Selama ini masih ada pemahaman dalam masyarakat yang menggambarkan lailatul-qadr dalam bentuk fisik yang ditandai dengan tanda-tanda fisik pula, seperti dedaunan bersujud, air yang  mengalir berhenti dan membeku, binatang malam berhening dan sebagainya. Pada detik-detik terjadinya peristiwa tesebut, apa saja yang diminta akan dikabulkan dalam waktu yang tidak begitu lama. Anggapan yang demikian ini cenderung untuk lebih mengabstrakkan lailatul-qadr sebagai sesuatu yang langka yang dapat ditemukan oleh segelintir orang saja. Padahal isyarat dalam Alquran dan Hadis menunjukkan bahwa lailatul-qadr lebih tepat jika ditanggapi secara rasional.

Istilah lailatul-qadr terdiri atas paduan dua kata, yaitu lail (lailah) yang berari malam, dan qadr  yang berarti ukuran (Lihat: Maulana Muhammad Ali, 1977:40), penentuan (Lihat: Hamka, 1981: 202), keagungan, dan kemuliaan (Lihat: Ahmad Mushthafa al-Maraghi,  J. XXX, [t.th.]:206 ). Jadi lailatul-qadr adalah malam penentuan dan malam keagungan. Lafal  lailatul-qadr terulang sebanyak tiga kali dalam Alquran(Muhammad Fuad Abd al-Baqi, [t.th.]) :537). lailatul-qadr diartikan malam kemuliaan karena: (1) sebagian arti qadr itu adalah kemuliaan, dan (2) mulai pada malam itu Malaikat Jibril AS menampakkan diri dihadapan Nabi Muhammad di Gua Hira’, dan pada malam itu pulalah perikemanusiaan mendapat kemuliaan dengan dikeluarkannya nur (cahaya) dari zhulumat (kegelapan). Kemudian dapat juga diartikan sebagai malam penentuan karena (1) pada malam itu pula ditentukan khittah (langkah) yang akan ditempuh oleh Rasulullah SAW dalam rangka memberikan petunjuk bagi manusia, dan (2) pada malam itu juga mulai ditentukan garis pemisah antara iman dan kafir, tauhid dan syirik, dan Islam da jahiliyah.

Dengan kedua arti tersebut di atas, tampaklah bahwa malam itu adalah malam istimewa dari segala malam, saat cahaya wahyu datang kembali ke dunia setelah terputus beberapa masa dan habisnya tugas Nabi yang terdahulu.

            Para ulama mempunyai pendapat yang berbeda-beda mengenai sebab penamaan lailatul-qadr antara lain:

  1. Syekh Mushthafa al-Hadidi menyatakan bahwa dinamai lailatul-qadr karena kemuliaan segai titik tolak turunnya wahyu Ilahi di dalamnya (Mushthafa Hadidi, 1976: 56).
  2. Al-Qurthubi mengartikan lailatul-qadr  sebagai lailatul hukmi yang bermakna “malam takdir atau penetapan.” Dinamakan demikian karena sesungguhnya Allah menetapkan pada waktu itu apa yang dikehendaki-Nya untuk diterapkan pada tahun berikutnya, yaitu menyangkut ajal, rezki, dan sebagainya, dengan menyerahkan kepada penanggungjawab urusan, yaitu empat malaikat: Jibril, Mikail, Izrail, dan Izrail (Lihat: Abi Abdillah Muhammad bin Ahmad bin al-Anshari al-Qurthubi, J. XXX,  1967:150.).

Al-Baghdadi mengemukan makna al-qadr sebagai pemberitahuan oleh Allah SWT kepada para malaikat tentang ketentuannya dan memerintahkan mereka melaksanakan tanggungjawabnya pada tahun itu. Jadi, tidak dimaksudkan Allah bahwa Allah SWT membuat ketetapan (hukum) pada waktu itu, karena Allah SWT telah menetapkan ketentuan-ketentuan tersebut sejak zaman ‘azali, sebelum menciptakan langit dan bumi (Lihat: Alauddin Ali bin Muhammad bin Ibrahim al-Baghdadi, J. VII, 1955: h. 271).

Mengenai kapan terjadinya lailatul-qadr, agaknya para ulama hadis tidak sependapat. Dalam kitab Fathul Bary, Ibnu Hajar al-‘Asqalani mencantumkan 45 pendapat tentang terjadinya lailatul-qadr  lengkap dengan periwayatnya. Riwayat tersebut dinukilkan pula oleh asy-Syaukani dalam Nailul Authar. Sebagian berpendapat bahwa lailatul-qadr hanya terjadi satu kali, yaitu pada masa Rasulullah SAW, al-‘Asqalani cenderung pada pendapat ini.

Adapun makna lailatul-qadr yang diperingati oleh umat Islam setiap tahunnya adalah untuk memberi motivasi kepada mereka agar dapat memperbanyak amal ibadah, karena malam tersebut tetap mempunyai berkah dan kemuliaan. Akan tetapi pendapat ini mendapat tantangan dari ulama lain. Mereka mengatakan bahwa pada umumnya sahabat Nabi dan ulama sesudahnya beranggapan bahwa lailatul-qadr itu terjadi setiap bulan Ramadhan sampai hari kiamat. Dalil yang mendasari pendapat ini ialah Hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah RA:

حدثنا قتيبة بن سعيد حدثنا إسماعيل بن جعفر حدثنا أبو سهيل عن أبيه عن عائشة رضي الله عنها أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال تحروا ليلة القدر في الوتر من العشر الأواخر من رمضان -البخاري ١٨٧٨

Artinya: al-Bukhari 1878: Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Ja’far telah menceritakan kepada kami Abu Suhail dari bapaknya dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Carilah Lailatul Qadar pada malam yang ganjil dalam sepuluh malam yang akhir dari Ramadhan.”(HR. al-Bukhari)

Bila dikaji pendapat-pendapat yang dikemukakan di atas, tampak bahwa pendapat yang disebutkan terakhir berpijak pada argument yang lebih kuat, sehingga lebih banyak dijadikan pegangan oleh ulama-ulama tafsir.

Mengenai kapan saat yang tepat turunnya lailatul-qadr, para ulama berbeda pendapat. Ada yang berpendapat pada malam ke 21, 23, 25, 27, bahkan pada malam ke-29 setiap bulan Ramadhan. Akan tetapi yang terbanyak dari mereka itu adalah yang menyatakan pada malam ke-27 Ramadhan (Sayyid Sabiq, [t.th.]:h. 472). Pendapat yang terbanyak ini berpegang pada Hadis Ibnu Umar:

أخبرنا عبد الله بن صالح حدثني الليث حدثني عقيل عن ابن شهاب قال أخبرني سالم بن عبد الله أن عبد الله بن عمر قال إن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال التمسوا ليلة القدر في السبع الأواخر- الدارمي ١٧١٧

Artinya: Telah mengabarkan kepada kami Abdullah bin Shalih telah menceritakan kepadaku Al Laits telah menceritakan kepadaku ‘Uqail dari Ibnu Syihab, ia berkata; telah mengabarkan kepadaku Salim bin Abdullah bahwa Abdullah bin Umar, ia berkata; sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Carilah lailatul-qadr pada tujuh hari terakhir (bulan Ramadhan) (HR. al-Darimi)

            Tidak adanya penetapan yang pasti mengenai saat yang pasti turunnya lailatul-qadr, tentu mempunyai hikmah yang penting bagi umat Islam. Di antaranya ialah agar mereka tidak hanya mem-focus-kan diri beribadah pada satu malam saja, tetapi juga pada malam-malam lainnya, terutama malam-malam terakhir di bulan Ramadhan.

            Hadis yang mengungkapkan tentang asyrul awakhir (sepuluh terakhir) dari bulan Ramadhan, cukup relevan untuk mengubah perilaku masyarakat yang tampaknya hanya giat beribadah pada masa-masa awal Ramadhan, yang ditandai dengan berjubelnya para jamaah mengunjungi masjid-masjid, mushalla-mushalla. Akan tetapi, sebaliknya pada hari-hari terakhir, tampak bahwa kesemarakan itu kurang terlihat lagi. Melalui kajian dan penghayatan terhadap hadis tersebut, masyarakat dapat dimotivasi untuk lebih bergairah beribadah dan mengingat keutmaan lailatul-qadr.

            Mengenai tanda-tanda turunnya lailatul-qadr yang ingin diketahui oleh hampir setiap orang, sejak Rasulullah SAW masih hidup sudah dipertanyakan. Dalam salah satu riwayat, Abu Munzir ditanya  tentang tanda-tanda lailatul-qadr, lalu Abu Munzir menjawab:

و حدثنا محمد بن حاتم وابن أبي عمر كلاهما عن ابن عيينة قال ابن حاتم حدثنا سفيان بن عيينة عن عبدة وعاصم بن أبي النجود سمعا زر بن حبيش يقولا سألت أبي بن كعب رضي الله عنه فقلت إن أخاك ابن مسعود يقول من يقم الحول يصب ليلة القدر فقال رحمه الله أراد أن لا يتكل الناس أما إنه قد علم أنها في رمضان وأنها في العشر الأواخر وأنها ليلة سبع وعشرين ثم حلف لا يستثني أنها ليلة سبع وعشرين فقلت بأي شيء تقول ذلك يا أبا المنذر قال بالعلامة أو بالآية التي أخبرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم أنها تطلع يومئذ لا شعاع لها- مسلم ١٩٩٩:

Artinya: Shahih Muslim 1999: Dan Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Hatim dan Ibnu Abu Umar keduanya dari Ibnu Uyainah – Ibnu Hatim berkata- Telah menceritakan kepada kami Sufyan bin Uyainah dari Abdah dan Ashim bin Abun Najud keduanya mendengar Zirr bin Hubaisy berkata: saya bertanya kepada Ubay bin Ka’b radliallahu ‘anhu. Saya katakan, “Sesungguhnya saudaramu Ibnu Mas’ud berkata: ‘Barangsiapa yang menunaikan shalat malam sepanjang tahun, niscaya ia akan mendapatkan malam lailatul-qadr.'” Maka Ubay bin Ka’b berkata: “Semoga Allah merahmatinya. Ia menginginkan agar manusia tidak hanya bertawakkal. Sesungguhnya ia telah mengetahui bahwa lailatul-qadr terjadi pada bulan Ramadlan, yakni dalam sepuluh hari terakhir tepatnya pada malam ke dua puluh tujuh.” kemudian Ubay bin Ka’b bersumpah, bahwa adanya Lailatul Qadr adalah pada malam ke dua puluh tujuh. Maka saya pun bertanya, “Dengan landasan apa, Anda mengatakan hal itu ya Abu Mundzir?” Ia menjawab, “Dengan dasar alamat atau tanda-tanda yang telah dikabarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kami, bahwa di hari itu matahari terbit dengan pancaran cahaya yang tidak menyengat.” (HR. Muslim)

Di dalam tafsir al-Khazin, sebagaimana dikutip al-Baghdadi, tanda-tanda tersebut lebih diperjelas melalui riwayat Hasan, bahwa lailatul-qadr itu merupakan suatu malam yang terang lagi menyejukkan, tidak panas dan tidak dingin, matahari terbit pada pagi harinya kurang bersinar (tidak terik).(Al-Bahgdadi, op.cit., h. 276)

Jadi, gejala pemitosan lailatul-qadr yang tampak sangat kuat di masyarakat, perlu diantisipasi secara bijaksana. Peristiwa seperti itu, menurut Syekh Muhammad Abduh, sebagaimana dikutip oleh Mushthafa al-Hadidi, selain tidak berdasar, juga secara rasional kurang dapat diterima (Mushthafa al-Hadidi, op.cit., h. 129)

Tentang keutamaan lailatul-qadr, dapat dilihat dalam tiga hal sebagai berikut:

  1. Diturunkannya Alquran

Alquran yang berisi himpunan kalamullah adalah kitab samawi yang terakhir turun ke dunia ini. Sebagai kitab suci, maka Alquran merupakan sumber pertama dan utama ajaran Islam, serta pedoman hidup umat Islam sepanjang zaman. Terpilihnya lailatul-qadr sebagai masa pertama kali turunnya Alquran menunjukkan kemuliaan malam tersebut. Bahkan kitab suci Allah SWT lainnya turun pada bulan Ramadhan (Taurat, Injil dan shuhuf  semuanya diturunkan pada bulan Ramadhan. Shuhuf Ibrahim AS turun pada tanggal 1 Ramadhan, Taurat tanggal 6 Ramadhan, Injil tanggal 13 Ramadhan, Alquran tanggal 24 Ramadhan (Ahmad bin Hanbal, Hadis Nomor: 16370). Isyarat yang menyatakan tentang hal ini dapat dilihat pada QS. Al-Baqarah/2:185, QS. Al-Qadr/92:1, QS. Ad-Dukhan/44: 3, dan QS. Al-Anfal/8: 41.

  1. Tingginya nilai ibadah di dalamnya

Keagungan lailatul-qadr juga terlihat pada tingginya kadar nilai pahala amal ibadah yang dilakukan di dalamnya. Meskipun rata-rata usia umat Nabi Muhammad SAW berkisar antara 60-70 tahun, dan kendati pun fisiknya tidak sekuat dengan umat-umat lain, tetapi dengan berkah lailatul-qadr yang lebih mulia dari seribu bulan (83 tahun) umat Nabi Muhammad SAW dapat mengimbangi, bahkan melebihi umat sebelumnya. Bahkan, al-Qurthubi menyatakan bahwa pengertian dari alfi syahr (seribu bulan) yang dimaksud dalam surat al-Qadr, bukanlah berarti harfiah, melainkan berari majazi (metaforis), yakni “segala masa”. Alasannya, karena secara filologis angka ribuan ketika turunnya Alquran adalah bilangan tertinggi. Jadi, khair min alfi syahrin tidak berarti lebih baik dari seribu bulan, tetapi lebih baik dari segala masa (al-Qurthubiy, op.cit., h. 126).

  1. Turunnya para Malaikat

Turunnya para Malaikat merupakan suatu malam kemuliaan yang luar biasa. Karena para Malaikat itu di samping memberi salam dan mendoakan kepada orang-orang mukmin, juga akan melaksanakan tugas-tugas mereka sebagaimana yang telah diperintahkan Allah SWT kepada mereka. Misalnya, menentramkan hati orang-orang mukmin dengan jalan memohonkan ampun dan ridha kepada Allah SWT.

Oleh karena itu, lailatul-qadr adalah pengalaman batiniah, maka tidak dapat dituntut lebih banyak lagi terjadinya perubahan-perubahan fisik terhadap alam ini, dengan mengaitkan turunnya lailatul-qadr tersebut.

Seorang muslim, hendaknya menerima lailatul-qadr itu sebagai suatu kehormatan yang perlu dihargai dengan mengisi amal ibadah sebanyak mungkin. Dan sebaliknya, hendaklah menjauhi hal-hal yang bertentangan dengan citra lailatul-qadr itu sendiri. Pengakuan terhadap kebenaran lailatul-qadr tidak mempunyai arti apa-apa bila tidak dimanfaatkan sebaik-baiknya. Rasulullah SAW yang nyata-nyata sudah mendapat jaminan surga,  tetap  mempunyai suatu sikap dalam menghadapi lailatul-qadr, yang tentunya dalam hal ini merupakan isyarat kepada umatnya. Sikap Rasulullah SAW tersebut antara lain melakukan i’tikaf, meningkatkan shalat sunnah, mohon ampunan dari Allah SWT.

Kajian makna lailatul-qadr dalam uraian ini, diharapkan dapat memberikan kejelasan di kalangan masyarakat muslim yang tampaknya masih mempunyai sikap yang berbeda dalam memahami lailatul-qadr. Kalau selama ini ada yang terlalu memitoskannya, maka dengan adanya kajian ini sikap tersebut dapat berubah dengan mengadakan pendekatan rasional. Pendekatan ini dimaksudkan untuk memberikan kejelasan tentang bagaimana sesungguhnya lailatul-qadr itu. Dalam upaya mengaktualkan kembali nilai sacral lailatul-qadr itu, khususnya bagi generasi muda. Dengan demikian, letupan emosi keagamaan dalam bulan Ramadhan, tidak hanya berlangsung di awal bulan Ramadhan, tetapi diharapkan dapat berkesinambungan hingga akhir bulan Ramadhan.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abd al-Baqi,  Muhammad Fuad. al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al-Qur’an al-Karim. Kairo: Dar Mathla’u wa Sya’b. [t.th.]

Ali, Maulana Muhammad. Islamogi (Dinul Islam). Diterjemahkan oleh R. Kailan dan H.M. Bachrun. Judul asli “The Religion of Islam”.Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve. 1977.

al-Baghdadi, Alauddin Ali bin Muhammad bin Ibrahim. Tafsir al-Khazin. Mesir: Mushthafa Albabil Halabi wa Auladuh. 1955. J. VII.

al-Bukhariy, Shahih al-Bukhariy, (HaditsSoft)

al-Darimiy, Sunan al-Darimiy, (HaditsSoft)

Hadidi,  Mushthafa. Lailatul Qadar Lebih Baik dari Seribu Bulan. Jakarta: Bulan Bintang. 1976.

Hamka. Tafsir al-Azhar. Surabaya: Bina Ilmu. 1981. J. XXX

al-Maraghi,  Ahmad Mushthafa. Tafsir al-Maraghi. Mesir: Mushthafa Albabil Halabi wa Auladuh. [t.th.].J. XXX.

Muslim, Shahih Muslim, (HaditsSoft)

al-Qurthubi,  Abi Abdillah Muhammad bin Ahmad bin al-Anshari. Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an. Kairo: Dar al-Kutub al-‘Arabiyah lith-Thaba’ wan Nasyr. 1967. J. XXX

Sayyid Sabiq. Fiqh al-Sunnah. Kairo: al-Maktabah al-Nizhamiyah. [t.th.].

Shihab, Muhammad Quraish, Membumikan al-Qur’an,  (Bandung: Mizan, 1999),  Cet. XIX

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *