Hijrah dalam Perspektif

Oleh:

Toni Markos, M.Ag

(Dosen Prodi IAT UIN IB)

Pada awalnya hijrah sering dimaknai dengan berpindah dari suatu daerah ke daerah lainnya. Dalam periode kenabian hijrah dikenal dengan migrasi besar-besarn umat Islam dari kota Makkah menuju Kota Madinah. Peristiwa ini pada akhirnya penanggalan baru di dunia Islam yang dikeanl dengan tahun hijriyah. Kalua ditilik di dalam al-Qur’an kata hijrah dan derivasinya (isytiqâq) terulang sebanyak 30 kali.

Dalam kitab tafsir klasik hijrah lebih banyak dimaknai dengan hijrah secara fisik yaitu berpindah dari suatu daerah ke daerah lain. Namun di era ini hijrah banyak dimaknai dalam perspektif berbeda serta mengindikasikan makna yang bermacam-macam. Di antaranya ada yang memaknai hijrah sebagai perubahan perilaku, sikap dan perspektif kea rah yang lebih positif, baik dilakukan secara individual personal, keluarga ataupun dalam bentuk komunitas kelompok. Namun ada pula yang memahami hijrah sebagai usaha mencari tempat dan komunitas baru untuk merubah nasib atau koondisi perekonimian. Kemudian ada pula yang memaknai hijrah dengan merubah spiritual keagamaan seseorang, yaitu memproyeksikan diri dari hal-hal yang tidak baik kepada hal-hal yang lebih baik

Informasi tentang hijrah salah satunya bisa dilihat dalam al-Qur’an QS al-Nisa’/ 4 ayat 100 yang berbunyi;

وَمَنْ يُهَاجِرْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يَجِدْ فِي الْأَرْضِ مُرَاغَمًا كَثِيرًا وَسَعَةً وَمَنْ يَخْرُجْ مِنْ بَيْتِهِ مُهَاجِرًا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS al-Nisa’/ 4 ayat 100)

Kata murâghaman artinya adalah tempat hijrah atau jalan yang terpisah dengan komunitas atau masyarakat sebelumnya atau dijauhkan dari penghinaan dan pelecehan kaumnya. Tsumma yudrikhu al-mautu dibaca dengan marfû’ (al-mautu) dengan i’rab sebagai khabar dari mubtada’ yang di-hadzaf-kan. Faqad waqa’a ajruhu alallahu maksudnya adalah bahwa orang yang berhijrah di jalan Allah pasti dan mesti mendapatkan pahala di sisi-Nya. Dalam teologi muktazilah wajib hukumnya bagi Allah untuk membalasi kebaikan dan amal shaleh yang dikerjakan hamba-Nya. Namun demikian terlepas dari teologi muktazilah terkait ini, ungkapan ayat al-Qur’an faqad waqa’a ajruhu alallahu memang menggambarkan hal demikian. Apalagi ini diperkuat oleh harf taukîd yang terdapat pada kata faqad waqa’a.

Dalam sebuah riwayat dikisahkan bahwa seorang yang bernama Jundab ibn Dhamrah sangat berkeinginan untuk menyusul Nabi Saw hijrah ke Madinah. Namun hal itu terkendala karena ia sudah sangat tua dan sudah uzur. Di sela-sela menjelang maut datang menghampirinya, ia menyilangkan kedua tangannya dan berkata: “Ya Allah, semua ini adalah milik-Mu dan demi rasul-Mu. Aku berbai’at kepada-Mu sebagaimana Rasulullah berbai’at kepada-MU”. Kemudian setelah itu ia menghembuskan nafas terkahirnya.

Berita ini pada akhirnya sampai kepada para shahabat di Madinah dan mereka berkata: andaikan ia meninggal di Madinah, tentu ia akan memperoleh kesempurnaan pahala dan ampunan. Maka ayat ini sejatinya turun sebagai sanggahan terhadap asumsi tersebut, di mana hijrah tidaklah dalam artian sempit seperti yang mereka pahami.

Dalam tafsirnya Zamakhsyariy mengungkapkan sesuatu yang sangat fenomenal ketika menafsirkan ayat ini, ia mengatakan: “Setiap hijrah yang dimaksudkan untuk agama, menuntut ilmu, menunaikan ibadah haji, berjihad, berpindah dari satu daerah ke daerah lain untuk meningkatkan ketaatan kepada Allah, sikap qana’ah dan zuhud dalam kehidupan dunia, atau mencari rezki yang baik dan halal, maka semua itu adalah hijrah menuju Allah dan Rasul-Nya. Seandainya dalam menjalankan semua itu ia meninggal, maka seyogianyalah Allah memberi pahala untuknya”. Penafsiran ini dinilai sangat kontekstual dalam memaknai hijrah itu sendiri khususnya untuk periode yang sangat jauh setelah kenabian. Di mana hijrah tidak hanya sebatas berpindah dari Makkah menuju Madinah pada masa lalu, tetapi hijrah bisa dipahami tidak hanya dalam konteks perpindahan fisik belaka, akan tetapi syarat dengan nilai-nilai lainnya seperti menuntut ilmu, meningkatkan ketaatan dan sebagainya.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *