Idul Adha di Bumi Sikerei

Oleh: Dwi Wahyuni, S.Ud., M.Ag

(Sekretaris Prodi SAA)

Sikerei merupakan sosok sentral dalam kebudayaan Mentawai, terutama di pulau Siberut, khususnya di Desa Matotonan. Mayoritas penduduk Desa Matotonan menganut agama Islam dan sebagian kecil beragama Katolik. Selain itu, agama leluhur mereka, yaitu Arat Sabulungan, tetap menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Tidak mengherankan bahwa hingga saat ini Sikerei di Matotonan masih diakui eksistensinya.

Saya dan tim peneliti berkesempatan merasakan suasana Idul Adha kali ini di Bumi Sikerei, Desa Matotonan, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai. Perjalanan kami dimulai pada Selasa (27 Juni 2023) dari Muara Padang menggunakan kapal laut Mentawai Fast menuju pelabuhan Mailepet. Setelah itu, kami melanjutkan perjalanan menggunakan mobil menuju dusun Rokdog, Desa Madobag. Dari Rokdog, kami melanjutkan perjalanan menuju Desa Matotonan dengan menggunakan Pompong. Total perjalanan kami dari Muara Padang hingga mencapai Desa Matotonan memakan waktu lebih dari 12 jam.

Ketika tiba di Matotonan, desa paling hulu di antara beberapa desa yang berada di aliran sungai Sarereiket, kami disambut oleh senja yang menghiasi kehidupan masyarakat Mentawai. Terdengar suara mengaji dari Mushalah di dekat sungai Sarereiket Hulu. Pada hari yang sama, kami disambut dengan keramahan oleh masyarakat Matotonan yang dengan bergantian menyapa dan berbincang dengan kami di rumah Suharman, sekretaris desa Matotonan yang juga menjadi tempat kami menginap. Suasana malam yang sejuk menyelimuti perbincangan kami bersama masyarakat Matotonan dan Sikerei. Perbincangan malam berakhir di tengah malam. Kami istirahat dan menikmati suasana malam yang tenang, jauh dari keramaian kota.

Pada Rabu pagi (28 Juni 2023), saya dan tim beraktivitas di kediaman Suharman. Kemudian, kami mengunjungi kantor Kepala Desa dan berkeliling melihat desa Matotonan. Desa ini sangat asri dan masyarakatnya sangat ramah. Beberapa rumah terlihat memiliki foto-foto yang memperlihatkan keberhasilan anak-anak Matotonan dalam menyelesaikan pendidikan tinggi. Meskipun berada di pedalaman, keyakinan masyarakat Matotonan akan pentingnya pendidikan bagi anak-anak mereka tetap kuat. Selama berkeliling desa, kami melihat anak-anak yang sedang bermain dan mandi di sungai Sarereiket Hulu dengan penuh keceriaan. Sapaan, senyuman, dan canda menjadi ciri khas masyarakat Matotonan yang terlihat sejak mereka masih kecil, sebagaimana yang tampak pada anak-anak Matotonan yang sedang mandi di sungai Sarereiket Hulu. Perjalanan keliling desa kami dilanjutkan dengan mengunjungi masjid Abu Ubaidah Bin Zarrah, di gerbang masuk halaman masjid terdapat hiasan-hiasan tradisional berupa berbagai tumbuhan dan bunga. Terlihat juga obor-obor yang sudah disiapkan untuk takbiran keliling desa. Di samping masjid, terlihat pula santri TPA sedang berlatih memainkan alat musik religi sebagai persiapan acara malam setelah pemotongan kurban. Masyarakat Matotonan menyebut acara tersebut sebagai ‘resepsi’ perayaan Idul Adha.

Setelah berkeliling desa, kami beristirahat sejenak. Tidak lama kemudian, kami bersantai di beranda rumah Suharman. Sesekali, panitia kurban membawa hewan kurban dari tempat pembelian ke masjid desa. Setelah Isya, anak-anak dan masyarakat Matotonan melaksanakan takbir keliling desa sambil membawa obor. Suasana malam takbiran di desa Matotonan mengajarkan kepada kita bahwa syiar Islam telah sampai dan dipahami serta diamalkan sepenuh hati oleh masyarakat desa Matotonan.

Udara segar desa Matotonan yang asri menyambut kami di pagi subuh Kamis (29 Juni 2023). Kami bergantian mandi, bersiap-siap, dan segera menuju masjid untuk melaksanakan shalat Idul Adha. Meskipun Matotonan merupakan desa terjauh dari Muara Siberut, ibukota Siberut Selatan, jumlah hewan kurban tahun ini mencapai 12 ekor sapi. Pemotongan hewan kurban dilakukan di dua tempat, 6 sapi di masjid Abu Ubaidah Bin Zarrah dan 6 sapi lagi di musholah Darul Ulum. Semua masyarakat Matotonan dapat menikmati daging sapi yang lezat sesuai dengan selera masing-masing. Saya pun, sebagai ‘tamu’, tetap dapat menikmati sup sapi yang dimasak oleh kakak perempuan Suharman. Perayaan Idul Adha di desa Matotonan ditutup dengan ‘resepsi’ perayaan Idul Adha yang dilaksanakan pada malam hari setelah Isya di masjid Abu Ubaidah Bin Zarrah. Acara tersebut meliputi pembacaan Al-Qur’an, sambutan, penampilan santri TPA, ceramah agama, dan doa bersama. Saya juga diminta oleh kepala desa untuk menyampaikan ceramah. Dengan penuh keyakinan, saya menerima tugas tersebut untuk berbagi ilmu pada malam Idul Adha tahun ini.

Narasi singkat yang saya alami ini, dimaksudkan untuk memberi kabar kepada semua, terutama umat Islam. Ketika orang berbicara tentang Mentawai secara umum, yang terlintas dalam pikiran adalah mayoritas penduduk Kristen, ketertinggalan dan kosumsi babi. Namun, seharusnya pemahaman kita tentang Mentawai tidak sebatas itu. Kita perlu mengetahui dan memahami bahwa di pulau Siberut, Kabupaten Kepulauan Mentawai, terdapat desa Matotonan yang terletak paling hulu aliran sungai Sarereiket. Di desa ini, Islam hidup dalam hati masyarakatnya. Meskipun menghadapi berbagai keterbatasan, Muslim Matotonan berjuang mengidentitaskan diri mereka sebagai manusia yang berserah diri kepada sang penciptanya. Karena itu, sudah semestinya perjuangan Muslim Matotonan didukung dengan semua hal yang mereka butuhkan dalam upaya menghamba kepada Allah SWT. Matotonan, 29 Juni 2023.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *